Minggu, 19 Juni 2011

The Dreamer : The Adventure Of Auro.


The Dreamer : Anjing dan Ular
Aku suka sekali dengan kata ini: Sang Pemimpi atau The Dreamer. Bukan bersebab aku pembaca fanatik novel Andrea Hirata, bukan! Sejak kecil, tepatnya sejak kelas 4 SD. Aku memang suka membayangkan diriku menjadi seseorang yang bukan diriku. Misalkan saja, dulu, aku paling suka dengan tokoh heroik Satria Baja Hitam (Kotaro Minami), Power Ranger dan Doraemon. Ya, aku sering membayangkan diriku berubah menjadi sosok belalang Satria Baja Hitam, menumpas dan membela keadilan. Belum lagi, ketika SD dulu, aku mempunyai dua orang teman lelaki dan dua orang teman perempuan. Maka, kontan saja aku memosisikan diriku sebagai ranger merah (pemimpinnya) dan kedua teman lelakiku ; Fadli dan Syarif (ranger hitam dan biru) lalu kedua teman perempuan kami; Prima dan Aan (ranger kuning dan merah jambu). Bahkan aku sering membayangkan, mereka memakai kostum para ranger tersebut.
Bukan hanya itu, aku suka sekali membayangkan diriku sebagai sosok Nobita. Aku terkadang seperti orang gila; berbicara sendiri, tertawa sendiri, terbang sambil merentangkan tanganku dengan berlari-seolah aku sedang memiliki baling-baling bamboo yang sedang berputar dan membawaku terbang. Ah, tak pernah lupa kubawa kantung ajaib ke mana saja. hahaha..
Begitulah, masa kecilku diwarnai dunia fantasi. Aku masih ingat sekali, ketika kelas 5 SD aku suka mengendap-endap masuk perpustakaan sekolah (saat itu tak banyak anak laki-laki yang suka membaca, mereka lebih suka bermain bola dan sering menggejekku karena aku tak terlalu pandai berolah raga). Di sana, aku menemukan sebuah buku cerita anak yang isinya tak bisa aku lupakan; Rahasia Hutan Terlarang. Aih, lagi-lagi dunia imajinasiku bermain; aku membayangkan tersesat di hutan tersebut dan menemukan hewan-hewan yang berbicara padaku.
Masa kecil itu memang indah; aku bisa menjadi siapapun yang aku mau tanpa khawatir dianggap gila. Ketika SD dulu, aku mempunyai seorang teman dekat. Namanya Doni. Temanku ini tubuhnya besar dan gempal. Kulitnya sawo matang dan bahunya sedikit terangkat. Sekilas, ia seperti seorang yang dungu; tak tahu apapun. Tak banyak teman-teman yang mau berteman dengannya. Entah kenapa aku bisa dekat dengan anak aneh ini. Bagaimana tidak aneh? Doni sering tertangkap basah sedang tertawa atau berbicara sendiri. Aih, tingkah lakunya sangat menggelikan. Tapi, aku santai saja.Meski sedikit aneh, dia anak baik.
Doni ini teman berpetualangku ketika aku kecil dulu. Terang saja, dia sering membelaku ketika ada anak yang lebih besar tubuhnya menggajakku berantam. Terkadang aku merasa seperti seorang bos kecil. Ada Doni yang selalu membelaku dan siap menghadang orang-orang yang ingin mencelakaiku. Pernah suatu hari ketika sore mulai merayap, kami baru saja pulang bermain dari tempat pembuangan rokok (sebuah tempat yang sangat sunyi di tempat tinggalku). Dulu itu musim sekali permain kertas rokok, jadi bungkus rokok itu akan kami kumpulkan lalu bagian yang tidak penting kami buang, biasanya cara bermainnya dengan menendang. Seorang keeper sebagai hambatannya. Persis seperti sepak bola, tapi ini yang ditendang adalah kertas atau bekas bungkus rokok. Sering pula aku memenangkan pertandingan ini.
Di tempat pembuangan itu, ketika kami hendak beranjak pulang, aku mendengar sebuah desisisan. Kontan saja bulu kudukku meremang. Aku membayangkan seekor ular sedang memata-matai kami.
“Don, kau dengar suara itu?” tanyaku pelan.
“Iya, sepertinya dekat sekali dengan kita!” ujarnya dengan tenang.
“Kita lari, yuk!” aku sudah ambil jurus kaki seribu.
Doni diam memandangiku.
Tiba-tiba ia menjerit histeris.
“Abi…di depanmu!”
Aku tergeragap dan langkahku terhenti begitu saja. keringat dingin mengucur dari setiap sudut tubuhku. Napasku saling berkejaran. Aku sesak dan hampir pingsan. Tapi mataku terbelalak hebat. Kau tahu apa yang ada di depanku? Ya, kau benar. Seekor ular cobra sedang terpaku manis dengan mata dan kepalanya yang bergoyang-goyang.
“Jangan bergerak, kau tahan di situ saja!” Doni seperti membaca bahasa tubuhku.
Sumpah! Sebenarnya saat itu kepalaku pusing dan aku sudah terhuyung. Sesekali ular itu ingin mematukku. Aku mundur perlahan. Ular itu mengikutiku. Aku jadi ingat dengan dongeng hutan terlarang. Bukankah di cerita itu ular menjadi musuh utama?
“Don, aku harus apa?” tanyaku pelan.
“Kau diam saja, aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya!” nada suara Doni tampak begitu berat.
Aku diam lagi. Ular itupun berhenti. Doni pelan-pelan mendekati. Di tangannya ada sebilah kayu. Aku tahu ia ingin menjangkau tubuh ular tersebut dan membuangnya bersamaan dengan kayu tersebut. Namun, ular itu terlalu besar.
“Cara satu-satunya kita harus berlari sekencang mungkin, aku pernah dengar dari kakekku, kalau dikejar ular kita harus berlari lurus, maka, kau ikuti aku saja.” perintahnya.
“Tap..tapi, kalau kita berlari anjing itu akan menggejar kita.” Kataku setengah berbisik. Aku tak mau membuat ular di hadapanku ini semakin curiga. Di tempat pembuangan itu juga ada seekor anjing yang mirip dengan srigala. Anjing ini mungkin penjaga tempat ini. Ia akan menggejar siapapun yang mengundang kecurigaan.
“Kau lebih memilih mana; mati terkapar dipatuk ular atau rabies digigit anjing?” katanya tenang.
Pilihan yang sulit. Dilemma. Keringat dinginku semakin mengucur deras. Jelas, tak ada satupun yang kumau dari dua pilihan yang ditawarkan Doni. Dasar anak aneh!
“Ikuti aba-abaku,dalam hitunga ke tiga, kita lari menuju depan. Satu, dua, ti…gaaaaaa!” ia menjerit ketika menyebutkan kata ketiga tadi.
Ular itu tampaknya sedikit kaget. Pun anjing yang tiba-tiba menyalak. Menggongong dan mengejar kami. Aku berlari sprint sekencang yang aku mampu.
Terbirit-birit. Ular itu (mungkin) terpelongo memandang kami. Mungkin pula ia binggung dan berkata dalam hati “Anak-anak yang aneh! Siapa juga yang mau ngejar kalian. Capek deh!” hahahaha. Sedang si anjing yang mirip srigala tadi mungkin ingin ikut bermain dengan kami, sembari berkata, “Woi, tunggu aku…aku juga bosan di tempat sepi ini!” :D
(In memorian bersama sahabatku, Doni, yang sekarang tidak pernah ketemu lagi hampir 13 tahun)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar