Rabu, 22 Juni 2011

Negeri Para Bintang (Sebuah Memoar Seorang Santri)

NEGERI PARA BINTANG
(Sebuah Memoar Seorang Santri)
Anak-anak muda meranjak dewasa dengan peci hitam, kemeja putih dan celana hitam. Tampak begitu antusias mendengarkan taujih sang ustaz di podium. Namun, salah satu dari mereka tampak begitu gelisah. Pikirannya wara-wiri.
"Anak-anakku, pesantren bukanlah sekolah para penyihir yang dengan mengayunkan tongkat kalian bisa menjadi siapapun yang kalian mau."
Sampai di situ, gelisah masih memagutnya.
"Sudahkah ananda membereskan perlengkapan pribadi? Jika lulus, tanamkan keikhlasan untuk dipupuk di pondok ini. Bagi yang belum lulus, jangan berputus asa. Kalian masih punya miliaran kesempatan untuk belajar di tempat lain,"
Dan pemuda ini berharap ia tak lulus.
berada di pondok. Ia rasakan betul bagaimana sakitnya hidup jauh dari jangkauan orang tua. Semua ia urus sendiri. Suasana begitu asing. Tidur dengan orang-orang baru dalam satu bangsal. Selama seminggu masa percobaan itu pula, ia tak berhenti menitikkan air mata dalam diam.
Hari ini adalah pengumuman itu. Ayah dan mamaknya pasti datang. Tibalah pembacaan nama-nama para calon santri. Jantungnya berdebar kencang. "Semoga aku tidak lulus." bisiknya berulang-ulan.
"Ananda Abi Auro Siregar."
Deg! Degupan jantung memelan. Jemarinya dingin. Mata nan sendu semakin layu. Ia keluar gedung pertemuan dengan menekuk wajah.
Dari pusat informasi terdengar namanya disebutkan. Ayah dan mamaknya telah datang. Saat itu ia merasa kiamat menyergap.
Ia menuju tempat kedatangan tamu yang dibuat serupa gubuk-gubuk kecil di tengah sawah. Ditemukannya dua orang yang amat ia cintai. Mamak langsung menghambur memeluknya. Mencium kedua pipi. Pun ayahnya. Lalu iapun mencium takzim punggung tangan keduanya.
"Abi lulus." katanya tak semangat. Ayahnya membaca gurat di wajahnya ini.
"Kau tidak bahagia?" suara berat ayahnya bertanya.
Tiba-tiba air matanya tumpah. Ia sesenggukan. Tersedu sedan.
"Cobalah 3 bulan saja!" ujar mamak lembut.
Tangis itu makin pecah. Tak mungkin ia minta berhenti. Ini baru permulaan. Apa salahnya mencoba, suara hatinya menguatkan.
***
Di sinilah aku menghela napas. Pada labirin tanah yang dijejaki para penuntut ilmu. Di mana setiap orang seperti tak puas-puas meneggak berliter-liter air pengetahuan. Ya, setiap orang menjadi gila di sini;membaca, menghafal, menafsir dan memahami. Aku masih terpelongo. Masih tak habis mengerti;aku sedang apa di sini? Sama sekali tak bertirakat ingin pintar Bahasa Arab, Inggris atau sekadar jago berpidato. Justru aku merasa hidupku selesai. SMA 2 di kotaku adalah mimpi sejak aku masih di SD dulu. Kini, terdampar pula aku di tempat yang orang-orangnya gila belajar.
Seminggu sejak resmi menjadi salah satu santri,aku masih tak merubah kerasnya mauku. Hari kelulusan itu adalah awal keterpasungan waktu. Ayah, kelihatan sekali lelaki berhidung mancung dengan mata terang itu gembira gegap gempita. Ia belikan semua keperluanku; lemari, buku-buku, baju koko, sarung. Ah, mamak, perempuan bertubuh mungil ini menatapku dengan senyum tak lepas. Sementara,aku nelangsa.
Jika petang merayap. Orang-orang yang gila belajar itu berkelompok menuju masjid. Sementara aku, aih, mencari seorang temanpun aku tak berselera. Aku berjalan malas-malasan. Seorang santri senior berkemeja dan bersarung rapi menatapku tajam. Tatapan aneh sebab matanya berlaguna. Jadinya tak seram. Belakangan baru kutahu ia adalah rois qismul amn. Apa peduliku? Hei, lagipula aku telah berjanji tak akan manut pada perintah siapapun. Dan inilah agaknya penyebab aku sering masuk mahkamah setelah dua minggu kemudian.
Aku bosan sekali dengan teman-teman baruku yang suka bercerita panjang lebar sebelum masuk pesantren: aku dulu mantan anak band, aku dulu anak teater, aku dulu...aku dulu...Ah, bosan!
Ya, ketika setiap orang mulai saling menggenal. Aku justru sibuk dengan duniaku sendiri. Setiap bakda ashar aku berlari ke lantai 4. Lantai tertinggi yang atapnya adalah langit. Di sana aku sering menatap awan. Tepatnya mengajak bicara awan-awan itu melalui hatiku. Di sana pula kutemukan anak yang unik; ia sering mendonggakan wajah mencari entah apa.
***
Remaja setinggiku itu terlihat murung. Ia memakai kaos bola merah menyala dan trening biru bludru. Dengan ekor mata aku mengintai gerak-geriknya yang aneh. Ya, sangat aneh! Ia menertawai langit. Aneh, bukan?
Aku tahu nama anak ini. Kalau tak salah ia anak kelas 1 intensif B. Ah, anak-anak kelas B, selalu mengangap merekalah yang terhebat. Pernah aku sengaja masuk ke kelas itu. Gila! Aku terperanjat, di saat kelas yang lain ribut tak menentu saat tak ada ustaz. Mereka sibuk menekuri buku dan menganggap tak penting kehadiranku. Apakah pemuda tanggung di sebelahku ini berprangai sama. Ah, apa peduliku?
Jika menelisik kegemarannya yang ganjil-setiap bakda ashar menatap langit. Bukankah aku hampir sama. Ia juga sering kutemukan berjalan ke manapun sendiri. Kami sama? Atau memang takdir ingin menyatukan kami?
"Anta tidak riyadhoh?" tiba-tiba ia memangkas monologku dengan Bahasa Arab ala kadarnya.
Aku menggeleng. Akhirnya ia menyapaku. Itu cukup sebagai tanda, ia ingin berteman.
"Limadza?" kejarnya lagi.
Ai, anak ini ternyata berbakat menjadi seorang interogator.
"Laba'sa" aku menjawab ketus tanpa memalingkan wajah.
"Langit selalu siap untuk kusuguhi dengan cerita-ceritaku."
Ia tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.
"Seperti buku gambar yang selalu terbuka dan siap kita warnai dengan apa coretan apapun."
Ia terlonjak kaget mendengar apa yang baru saja kulirihkan tak sengaja. Ya, tanpa sengaja.
"Kau tahu, itulah yang selalu aku bayangkan. Aku suka menatapnya berlama-lama sambil membayangkan aku menjadi apapun yang aku mau."
Aku terpelongo. Eh, lebih tepatnya terperanjat saat mataku bertubrukan dengan dua bola matanya yang hidup, bicara dan ada mimpi besar di sana.
"Ya, Bi. Kelak akan kuberitahu padamu tentang mimpiku yang kutitipkan pada langit. Kau juga bisa melihatnya asal kau percaya pada mimpi-mimpimu sendiri."
Anak ini menurutku tak lebih sebagai pembual kelas kakap. Oi, ini realita, mimpiku telah lama kukubur. Aku terpaksa menjadi pengkhianat persahabatanku karena masuk pondok ini. Mimpi itu kandas.
"Bagaimana bisa aku masuk pesantren sedang mengeja hijaiyah saja masih kalang kabut" tukasku pada dua orang yang kucintai itu.
"Proses. Semua butuh proses." Ayahku berbicara singkat. Namun itu cukup membungkam mulutku. Wajahku tertunduk. Lelaki dengan rambut ikal itu mendekatiku.
"Ayah tak mau, nanti, di akhirat sana, kau malah menuntut alasan, mencari kambing hitam,ayahmu ini tak pernah mengajarkan agama." ujarnya dengan nada bercanda.
Mamak diam saja. Tapi matanya bicara. Ia mendukung sepenuhnya bujuk rayu ayah kepadaku.
"Yang lebih penting bagi ayah adalah untuk kebaikanmu."
Kali ini nada bicara ayah menyilet hatiku. Segores perih yang indah. Tak sakit. Tapi berdarah. Dan hasilnya air mataku tumpah.
"Laki-laki tak boleh cengeng." ujarnya lagi sambil mengacak rambutku. Dua adikku-menontonku sambil cekikikan. Aku tak tahu harus beralasan apalagi. Pudar janjiku pada dua sahabat SMPku untuk bertemu kembali di SMA 2 yang tak begitu jauh dari rumah.
Di gengamanku brosur pesantren itu. Aku meremasnya. Rahangku mengeras. Tipikal darah batak sejati-keras kepala-agaknya memang mengalir deras dalam diriku. Aku memalingkan wajah. Menatap mamak. Sejatinya, salah satu alasanku adalah aku tak mau berpisah jauh dengan mamak.
"Medan-Siantar itu tidak jauh. Hanya 3 jam. Mamak bisa menjengukmu seminggu sekali." Mamak seperti mengerti apa yang membatu di pikirankanku.
Runtuh sudah. Terkadang dalam hidup kita harus berjalan sesuai yang dimaui orang tua, sampai akhirnya kembali menjadi diri sendiri. Ups! Menjadi apa? Aku sendiri tak mengerti apa mauku. Cita-cita pun belum menjangkau di kepala. Ah, berputar-putar rasanya ruangan ini. Aku pusing.
Seminggu setelah menerima ijazah, mamak mengajakku ke pondok itu. Inilah pertama kali aku menginjak tanah deli-Medan. Panas yang kental. Hingar bingar perkotaan. Bangunan meninju langit. Kemacetan. Ciri khas kota metropolitan. Cuma 3 jam perjalanan. Tapi tubuhku penat luar dalam. Pun otakku yang sibuk membayangkan hari-hari ketika aku akan meraup dan menghela napasku sedalamnya
***
Pemuda tanggung di sampingku itu membuyarkan lamunanku.
"Apakah anta ingat ketika pertama kali tes masuk pondok. Ana berusaha keras agar bisa lulus. Ana ingin mahir berbahasa Arab dan Inggris." Cerocosnya.
Aku melengos. Beda sekali denganku. Aku bahkan tak antusias ketika memasuki tes lisan. Sang ustaz di depanku yang sekarang kukenal namanya Ustaz Haris, sempat mengernyitkan dahi akibat tak tahu soal segampang apalagi yang akan ia berikan. Ya, aku remaja bodoh yang terbata-bata mengeja Alquran dan terjungkal ketika menulis huruf Arab.
"Kamu sholat subuh dan lafazkan ayatnya dengan terang!"
perintahnya. Aku gelagapan. Ai, aku harus membaca apa. Kubongkar habis sisa-sisa pengetahuan agamaku yang dangkal. Kulafazkan bacaan sholat dengan menjerit dan berantakan. Ustaz semakin mengerutkan dahinya.
"Kamu hafal doa qunut?"
Menggeleng.
"Banyak-banyak belajar. Ma'annajah ya." pesan sang ustaz. Aku keluar. Kulempar senyum kemenangan.
Sialnya! Aku diluluskan.
"Man ismuka?" Landu mengempas lamunanku lagi. Belakangan aku memang selalu menggais masa lalu.
"O, ana Abi." kataku sekadar saja. Aku tak tertarik ingin menanyainya balik.
"Aina qaryatuka?" anak di hadapanku ini semakin cerewet.
Bahasa Arabnya mulai penuh. Inilah bedanya anak-anak kelas B yang berisi orang-orang pemuja nilai pelajaran tertinggi. Di pesantren Annajm ini, kelas dimulai dengan abjad B yang diselingi huruf sesudahnya. Sedang untuk santriwatri putri. Kelas dimulai dari Abjad C. Aku duduk di kelas D. Tidak terlalu memalukan. Tapi, apa peduliku. Bahkan setelah pertengahan tahun nanti aku bercita-cita untuk segera hengkang. Sungguh! Pelajaran di pondok ini tak satupun kumengerti. Aku tak suka menghafal. Sementara hampir semua pelajaran harus dihafal dan difahami. Belum lagi bahasa penggantarnya Bahasa Arab atau Inggris. Matilah aku! Tiap hari aku mengantuk. Tertidur dalam kelas ketika ustaz menjelaskan. Dan buku-buku yang kubawa berat-berat dari asrama, kujadikan bantal. Tipikal santri pembangkang, agaknya mengalir deras pada aliran darahku.
***
Lonceng bekas besi tua yang kami sebut jaros itu berdentang 2 kali. Menggema ke seantero sudut pesantren. Jam mandi. Landu beranjak dari lantai empat. Ia menggajakku mandi. Kami hanya diberi waktu 30 menit untuk membersihkan badan. Jam enam tepat harus sudah mendekam di masjid-bertilawah dan tak boleh bicara pada siapapun. Mandi jam segini sama saja dengan mencurahi badan dengan air bekas mandian santri lain. Tak ada perlakuan khusus, santri kelas satu sampai enam mandi pada satu ruang yang sama yang lantas kami sebut hammaam. Ya, aku terpaksa harus menunggu dengan konsekuensi tatapan setajam pisau para qismul amn. Ah, aku tak takut!
Benar dugaanku. Aku terlambat. Anehnya, aku malah berjalan santai sementara, Haris, qismul amn berbangun tubuh menjulang itu menatapku serupa singa sedang memburu rusa. Aku angkat wajahku. Terkesan angkuh. Berjalan tanpa merasa bersalah.
"Akhi, ta'al hunaa!" suara si Lion-julukan yang kuberi untuknya-sengaja ia berat-beratkan agar terkesan berwibawa.
"Qum!" perintahnya. Aku bergeming. Sebab, jujur saja aku tak mengerti apa yang sedang ia ucapkan.
"Abang memanggilku?" tanyaku polos. Para santri yang kebetulan dihukum terperanjat. Dapat kubaca di mata mereka rasa kagum yang membara.
Aku risih dipandangi seperti itu. Ia lihat di kiri dadaku. Tak bercokol papan nama. Dan konon, papan nama adalah sesuatu yang sakral di pondok ini. Semacam identitas yang tak boleh dilepas.
"Anta alzudad? Mana papan nama kamu?" tanyanya kejam.
Oo, aku baru sadar tengah melakukan kesalahan fatal dari sekadar terlambat.
"Bakda magrib, kamu datang ke ruang sidang qismul amn bersama mudabbir kamu, fahimta? Pesannya. Lantas ia membiarkanku menikmati detik, menit menuju sarang para singa.
Sepanjang waktu itu jantungku berdetak tak menentu. Inilah ketakutanku pertam. Bermasalah dengan para muddabir. Jelas akan membuatku semakin tak nyaman berada di pondok. Usai sholat magrib aku berdoa. Kuyakinkan diriku, semua akan baik-baik saja.
***
Kedua kakak kelasku menghembus napasnya. Aziz dan Risman, mereka adalah dua dari enam orang muddabir di asrama Saudi. Letaknya persis di samping pos satpam atau pintu masuk utama pondok. Di sebelah kiri asrama Aljihad. Kedua mudabbirku itu adalah petinggi di kerajaan Saudi. Aziz, ketua asrama. Risman, ketua keamanan asrama. Merekalah yang paling bertanggung jawab jika ada anggota yang melanggar disiplin.
Aku menguntit langkah mereka dari belakang. Teman-teman seasrama menatap benci padaku. Konon,aku termasuk mahkluk aneh yang harus dijauhi-mungkin begitulah menurut mereka.
Kami sampai di depan markas keamanan pusat. Kedua mudabbirku tadi masuk terlebih dahulu. Aku menunggu giliranku. Mataku liar memandang seantero tempat. Aku tersadar, para santri yang sedang membaca Alquran di setiap teras rayon-sebagian dari mereka memandangiku. Ya, tepatnya memandang kasihan. Itu tak menyurutkan mentalku, kukatakan dalam hati, semua akan baik-baik saja.
Lima belas menit berlalu. Kedua mudabbirku masuk dengan tampang kusut. Mereka memelototiku. Aku malah tak diapakan sama sekali.
"Setelah sholat isya, temui kami di kamar satu!"
Alisku menyatu. Aku berpikir keras. Mengapa aku tak dihukum keamanan pusat? Mudabbir ini, wajah mereka tegang sekali!
Jaros yang digantung depan asrama Alishlah itu bertalu dua kali. Jam makan malam. Semua santri membaca khotmik Quran terburu. Perut lapar tak karuan. Usai doa, mereka menghambur kamar, membuka lemari, mengambil piring, berjalan terburu menuju mathbah, mengambil antri paling depan. Sementara aku, tiba-tiba seleraku hilang. Tapi Landu, satu-satunya teman yang dekat denganku, merangkul dan memaksa langkahku menuju dapur umum.
"Ana semakin tidak betah tinggal di sini!" aku begitu ketus berbicara. Ia tersenyum saja. Agaknya ia sedang tak berselera berpanjang- panjang cakap. Mungkin akibat kelaparan akut. Tapi, satu hal yang aku salut dengan anak ini, kemajuany selama hampir sebulan belajar di pondok mulai tampak. Ia santun, tak banyak bicara dan suka menulis catatan harian. Bersambung...

Minggu, 19 Juni 2011

The First Love

The First Love.
Catatan Pertama.
Seorang sahabatku yang sudah kuanggap seperti adikku sendiri, suatu ketika bertanya padaku, “bang, abang pernah menonton film the little things called love?” Aku menggeleng. Kontan saja aku tertarik, sebab sahabatku sekaligus penulis buku best seller (amin ya Allah) Gue Gak Cupu ini adalah penonton film kelas militant.
Aku memintanya untuk memasukkan film tersebut ke dalam flash disc. Ia menurut dan aku sudah tidak sabar ingin segera menonton film tersebut.
10 jam kemudian.
Baru saja kutunaikan sholat isya. Mataku sudah sangat berat dan aku ingin tidur secepatnya. Notebook masih menyanyikan sedendang nasyid Maidany terbaru; Jangan Jatuh Dari Cinta. Lalu sejenak aku duduk di meja belajar. Tiba-tiba aku teringat file yang diberikan oleh sahabatku itu. Aha! Mungkin dengan menonton kantukku akan hilang. Bim salabim abracadabra! Dalam beberapa menit kemudian notebookku telah memutar sebuah film besutan sutradara Thailand.
Hah! Kukira film barat, ternyata film Thailand yang bahasanya agak aneh di telingaku.
Awalnya aku kurang addict, ini film apa, ya? Pikirku.
Semenit, dua menit, bermenit-menit kemudian…
Film ini berhasil membuat kantukku hilang. Kisah cinta pertama seorang gadis buruk rupa dengan seorang pangeran tampan nan rupawan. Entah kenapa, film ini malah membuat de javu yang melempar diriku pada masa 4 tahun lalu….(bersambung)

The Dreamer : The Adventure Of Auro.


The Dreamer : Anjing dan Ular
Aku suka sekali dengan kata ini: Sang Pemimpi atau The Dreamer. Bukan bersebab aku pembaca fanatik novel Andrea Hirata, bukan! Sejak kecil, tepatnya sejak kelas 4 SD. Aku memang suka membayangkan diriku menjadi seseorang yang bukan diriku. Misalkan saja, dulu, aku paling suka dengan tokoh heroik Satria Baja Hitam (Kotaro Minami), Power Ranger dan Doraemon. Ya, aku sering membayangkan diriku berubah menjadi sosok belalang Satria Baja Hitam, menumpas dan membela keadilan. Belum lagi, ketika SD dulu, aku mempunyai dua orang teman lelaki dan dua orang teman perempuan. Maka, kontan saja aku memosisikan diriku sebagai ranger merah (pemimpinnya) dan kedua teman lelakiku ; Fadli dan Syarif (ranger hitam dan biru) lalu kedua teman perempuan kami; Prima dan Aan (ranger kuning dan merah jambu). Bahkan aku sering membayangkan, mereka memakai kostum para ranger tersebut.
Bukan hanya itu, aku suka sekali membayangkan diriku sebagai sosok Nobita. Aku terkadang seperti orang gila; berbicara sendiri, tertawa sendiri, terbang sambil merentangkan tanganku dengan berlari-seolah aku sedang memiliki baling-baling bamboo yang sedang berputar dan membawaku terbang. Ah, tak pernah lupa kubawa kantung ajaib ke mana saja. hahaha..
Begitulah, masa kecilku diwarnai dunia fantasi. Aku masih ingat sekali, ketika kelas 5 SD aku suka mengendap-endap masuk perpustakaan sekolah (saat itu tak banyak anak laki-laki yang suka membaca, mereka lebih suka bermain bola dan sering menggejekku karena aku tak terlalu pandai berolah raga). Di sana, aku menemukan sebuah buku cerita anak yang isinya tak bisa aku lupakan; Rahasia Hutan Terlarang. Aih, lagi-lagi dunia imajinasiku bermain; aku membayangkan tersesat di hutan tersebut dan menemukan hewan-hewan yang berbicara padaku.
Masa kecil itu memang indah; aku bisa menjadi siapapun yang aku mau tanpa khawatir dianggap gila. Ketika SD dulu, aku mempunyai seorang teman dekat. Namanya Doni. Temanku ini tubuhnya besar dan gempal. Kulitnya sawo matang dan bahunya sedikit terangkat. Sekilas, ia seperti seorang yang dungu; tak tahu apapun. Tak banyak teman-teman yang mau berteman dengannya. Entah kenapa aku bisa dekat dengan anak aneh ini. Bagaimana tidak aneh? Doni sering tertangkap basah sedang tertawa atau berbicara sendiri. Aih, tingkah lakunya sangat menggelikan. Tapi, aku santai saja.Meski sedikit aneh, dia anak baik.
Doni ini teman berpetualangku ketika aku kecil dulu. Terang saja, dia sering membelaku ketika ada anak yang lebih besar tubuhnya menggajakku berantam. Terkadang aku merasa seperti seorang bos kecil. Ada Doni yang selalu membelaku dan siap menghadang orang-orang yang ingin mencelakaiku. Pernah suatu hari ketika sore mulai merayap, kami baru saja pulang bermain dari tempat pembuangan rokok (sebuah tempat yang sangat sunyi di tempat tinggalku). Dulu itu musim sekali permain kertas rokok, jadi bungkus rokok itu akan kami kumpulkan lalu bagian yang tidak penting kami buang, biasanya cara bermainnya dengan menendang. Seorang keeper sebagai hambatannya. Persis seperti sepak bola, tapi ini yang ditendang adalah kertas atau bekas bungkus rokok. Sering pula aku memenangkan pertandingan ini.
Di tempat pembuangan itu, ketika kami hendak beranjak pulang, aku mendengar sebuah desisisan. Kontan saja bulu kudukku meremang. Aku membayangkan seekor ular sedang memata-matai kami.
“Don, kau dengar suara itu?” tanyaku pelan.
“Iya, sepertinya dekat sekali dengan kita!” ujarnya dengan tenang.
“Kita lari, yuk!” aku sudah ambil jurus kaki seribu.
Doni diam memandangiku.
Tiba-tiba ia menjerit histeris.
“Abi…di depanmu!”
Aku tergeragap dan langkahku terhenti begitu saja. keringat dingin mengucur dari setiap sudut tubuhku. Napasku saling berkejaran. Aku sesak dan hampir pingsan. Tapi mataku terbelalak hebat. Kau tahu apa yang ada di depanku? Ya, kau benar. Seekor ular cobra sedang terpaku manis dengan mata dan kepalanya yang bergoyang-goyang.
“Jangan bergerak, kau tahan di situ saja!” Doni seperti membaca bahasa tubuhku.
Sumpah! Sebenarnya saat itu kepalaku pusing dan aku sudah terhuyung. Sesekali ular itu ingin mematukku. Aku mundur perlahan. Ular itu mengikutiku. Aku jadi ingat dengan dongeng hutan terlarang. Bukankah di cerita itu ular menjadi musuh utama?
“Don, aku harus apa?” tanyaku pelan.
“Kau diam saja, aku akan mencoba mengalihkan perhatiannya!” nada suara Doni tampak begitu berat.
Aku diam lagi. Ular itupun berhenti. Doni pelan-pelan mendekati. Di tangannya ada sebilah kayu. Aku tahu ia ingin menjangkau tubuh ular tersebut dan membuangnya bersamaan dengan kayu tersebut. Namun, ular itu terlalu besar.
“Cara satu-satunya kita harus berlari sekencang mungkin, aku pernah dengar dari kakekku, kalau dikejar ular kita harus berlari lurus, maka, kau ikuti aku saja.” perintahnya.
“Tap..tapi, kalau kita berlari anjing itu akan menggejar kita.” Kataku setengah berbisik. Aku tak mau membuat ular di hadapanku ini semakin curiga. Di tempat pembuangan itu juga ada seekor anjing yang mirip dengan srigala. Anjing ini mungkin penjaga tempat ini. Ia akan menggejar siapapun yang mengundang kecurigaan.
“Kau lebih memilih mana; mati terkapar dipatuk ular atau rabies digigit anjing?” katanya tenang.
Pilihan yang sulit. Dilemma. Keringat dinginku semakin mengucur deras. Jelas, tak ada satupun yang kumau dari dua pilihan yang ditawarkan Doni. Dasar anak aneh!
“Ikuti aba-abaku,dalam hitunga ke tiga, kita lari menuju depan. Satu, dua, ti…gaaaaaa!” ia menjerit ketika menyebutkan kata ketiga tadi.
Ular itu tampaknya sedikit kaget. Pun anjing yang tiba-tiba menyalak. Menggongong dan mengejar kami. Aku berlari sprint sekencang yang aku mampu.
Terbirit-birit. Ular itu (mungkin) terpelongo memandang kami. Mungkin pula ia binggung dan berkata dalam hati “Anak-anak yang aneh! Siapa juga yang mau ngejar kalian. Capek deh!” hahahaha. Sedang si anjing yang mirip srigala tadi mungkin ingin ikut bermain dengan kami, sembari berkata, “Woi, tunggu aku…aku juga bosan di tempat sepi ini!” :D
(In memorian bersama sahabatku, Doni, yang sekarang tidak pernah ketemu lagi hampir 13 tahun)

Jumat, 17 Juni 2011

Rumahku Rumah Cahaya.

Rumahku Rumah Cahaya.
Makin lama, makin pilu hati ditusuk oleh realita negeriku ini. Makin berdebar sebuah empati yang menguar jiwa. Aku memilih tinggal di rumah baruku, pada sebuah lingkungan pinggiran kota Medan. Sebenarnya tidak pinggiran, bersebab tempat ini dikepung oleh bangunan Tinggi. Di utara, terbangun megah sebuah mall yang sekarat,antara hidup dan mati (mungkin barangkali akan segera pailit). Di barat, sebuah kampus megah milik orang-orang berdasi. Di selatan tak kalah menawan, bangunan berlantai 5 (salah satu pusat perbelanjaan terbesar di kota ini).
Tempat tinggalku ini tergolong kumuh. Rumah-rumah reot berjajar rapat. Gang-gang sempit . Ah, beginikah ciri khas kota metropolitan; selalu ada kegetiran di tengah kemewahan. Belum lagi, Sungai Deli yang alirannya tidak dijaga. Membuat warna beningnya berubah menjadi coklat bahkan lebih coklat dari susu coklat sekalipun. Di sinilah sekarang aku berbaur. Menghirup udaranya. Pada sebuah rumah; Rumah Cahaya namanya.
Rumah Cahaya, 2011